Namanya Pak Tarman, 45 tahun, buruh bangunan yang dikenal paling rajin dan jarang mengeluh meski badannya sering dipenuhi bekas semen dan peluh. Setiap hari ia berangkat pagi-pagi dan pulang malam, kadang lembur demi menambah upah harian.
“Yang penting anak-anak bisa makan, sekolah, dan nggak ngerasain susah kayak saya dulu,” ucapnya suatu waktu. Hidupnya sederhana. Ia tinggal di kontrakan kecil bersama istri dan dua anak. Belum punya rumah sendiri, tapi semangatnya tak pernah padam.
Sekadar Main Sebelum Tidur
Suatu malam, sepulang lembur pukul 01.30 dini hari, Pak Tarman belum bisa langsung tidur. Badannya lelah tapi pikirannya masih berisik. Temannya yang tidur bersamanya di barak proyek menawarkan ponsel, “Coba aja main ini, Mahjong Wins 3. Siapa tau hoki.”
Awalnya ia menolak, “Ah, saya mah mana ngerti beginian.” Tapi karena tak bisa tidur, ia mencoba. Sentuhan pertamanya di layar penuh ubin warna-warni terasa aneh. Tapi ia lanjut. Iseng saja, katanya. Tak lebih dari 20 menit, layar mulai ramai. Simbol-simbol menyatu, suara koin berdentang—dan tiba-tiba, layar menampilkan angka besar: Rp1.020.000.000.
Diam, Bingung, Lalu Menangis
Pak Tarman tak berkata apa-apa. Ia pikir ponselnya rusak. Ia lihat ke layar, lalu ke temannya, lalu ke layar lagi. “Ini beneran?” suaranya gemetar. Temannya pun melotot, mengecek ulang, dan terdiam.
Setelah lima menit tanpa suara, Pak Tarman duduk di lantai barak sambil menutup wajahnya. Tangisnya pelan, lalu pecah. “Saya bisa bangun rumah. Saya bisa punya rumah sendiri...” katanya berulang-ulang.
Keluarga Terharu, Tetangga Heboh
Pagi itu juga ia pulang ke rumah. Tak membawa semen atau alat kerja—hanya kabar gembira. Saat sampai di depan kontrakan, istrinya kaget melihat wajah suaminya yang sembab tapi tersenyum. Anak-anak memeluknya tanpa tahu apa yang terjadi.
Setelah menjelaskan semuanya, istri Pak Tarman menangis sambil sujud syukur. Tak lama, tetangga-tetangga pun mendengar kabarnya. Mereka tak percaya. Buruh bangunan yang tiap hari pulang penuh debu... kini seorang miliuner dadakan.
Tekad: Bangun Rumah Sendiri
Uang itu tidak dihambur-hamburkan. Pak Tarman langsung membeli sebidang tanah kecil yang dulu hanya ia lewati tiap pagi. Ia menyusun desain rumah sendiri, dengan tangannya sendiri, dibantu beberapa rekan tukang.
“Biar pelan, asal hasil keringat sendiri,” katanya. Rumah itu kini hampir jadi—sederhana tapi kokoh, dengan taman kecil dan tempat bermain untuk anak-anaknya. Ia juga menyisihkan sebagian uang untuk usaha kecil istrinya dan tabungan pendidikan anak.
Masih Sederhana, Tapi Penuh Syukur
Meski kini hidup lebih layak, Pak Tarman tetap rendah hati. Ia tak gengsi membantu proyek kecil di kampung, masih suka ngopi bareng tukang lain, dan sering traktir sarapan di warung langganan. Warga mulai menjulukinya “Juragan Beton”, tapi ia hanya tertawa.
“Rezeki itu datangnya kadang nggak masuk akal. Tapi waktu datang, kita harus jaga baik-baik. Saya gak pengen lupa dari mana saya mulai,” katanya pelan.
Dan semuanya... dimulai dari lembur malam yang melelahkan, ponsel teman, dan rasa iseng yang ternyata membawa berkah besar.