Namanya Pak Wardi. Usianya 52 tahun, tiap hari ia berdiri di pinggir jalan dekat minimarket, memegang peluit dan kertas sobekan kecil bertuliskan nomor plat. Sudah belasan tahun ia jadi tukang parkir di area itu, dikenal ramah dan tak pernah ambil uang lebih dari semestinya.
Hidupnya sederhana. Rumah petak, sepeda motor tuanya sering mogok, dan ia masih menanggung biaya sekolah dua anaknya yang masih SMP dan SMK. Tapi ia selalu datang tepat waktu, tak peduli panas atau hujan. “Rezeki nggak datang kalau kita malas,” katanya.
Rasa Penasaran dari Pinggir Jalan
Suatu malam saat sedang jaga motor, ia memperhatikan beberapa anak muda di pos ronda tertawa-tawa sambil main game di ponsel. Ia mendekat penasaran. Game itu bernama Mahjong Ways.
“Ini apaan sih, kok kayak ubin diacak-acak tapi bisa dapet duit?” tanyanya polos. Salah satu anak muda menjelaskan dengan sabar, bahkan menawarkan untuk mengajarinya cara main. Awalnya ia hanya menonton, tapi beberapa hari kemudian, ia coba main sendiri pakai ponsel bekas anaknya.
Subuh yang Mengubah Takdir
Pada suatu malam, selepas tugas parkir selesai dan jalan mulai sepi, ia duduk di teras kecil rumahnya sambil membuka aplikasi Mahjong Ways. Waktu itu sekitar pukul 04.10 subuh, saat semua rumah masih gelap dan hanya suara jangkrik yang terdengar.
Ia mulai bermain perlahan. Putaran demi putaran terasa berbeda. Simbol ubin jatuh sempurna, efek visual menyala terang, dan suara kemenangan berdentum. Layar ponsel menunjukkan angka yang membuat ia tertegun: Rp398.200.000.
Ia mematung beberapa detik. Lalu perlahan menutup wajahnya dengan tangan dan menunduk, menahan tangis. “Ini beneran, ya Allah?” bisiknya. Istrinya yang mendengar langsung keluar, dan mereka berpelukan dalam diam, tak tahu harus tertawa atau menangis lebih dulu.
Toko Kelontong dan Perubahan Hidup
Dalam waktu dua bulan, Pak Wardi membuka toko kelontong kecil di dekat rumahnya. Ia beli kulkas baru, etalase kaca, dan isi lengkap kebutuhan harian mulai dari sabun, minyak, beras hingga jajanan anak-anak.
Toko itu ia kelola sendiri bersama istrinya. Anak-anaknya ikut membantu setiap sore sepulang sekolah. Penghasilannya sekarang jauh lebih stabil. Ia tak lagi berdiri seharian di bawah panas. Tapi setiap pagi, ia tetap menyempatkan diri mampir ke pangkalan parkir lamanya—sekadar menyapa teman-teman dan berbagi kopi.
“Bos Parkir” yang Tak Lupa Asal
Warga sekitar kini menjulukinya "Bos Parkir". Tapi ia tidak berubah. Pakaiannya tetap sederhana, bicaranya tetap pelan, dan senyumnya masih sama seperti dulu. Ia sering memberi belanja gratis ke tetangga yang kekurangan, dan menyumbang ke masjid tanpa banyak bicara.
“Hidup saya dulu dari recehan. Sekarang saya dikasih lebih, ya harus dibagi juga,” katanya sambil merapikan tumpukan sabun di rak tokonya.
Kisahnya jadi pengingat: kadang rezeki datang dari arah tak terduga, bahkan dari layar kecil di tangan seorang tukang parkir yang diam-diam bermimpi.